.

.
Selamat Datang di blog USNA
animasi bergerak naruto dan onepiece

Kamis, 10 Oktober 2013

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK



1.      Pengertian Teori Behaviorisme
Rumpun teori ini disebut behaviorisme karena sangat menekankan perilaku atau tingkah laku yang dapat diamati atau diukur. Teori-teori dalam rumpun ini bersifat molekular, karena memandang kehidupan individu tediri atas unsur-unsur seperti halnya molekul-molekul. Ada beberapa ciri dari
rumpun teori ini yaitu :
1.      Mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian kecil.
2.      Bersifat mekanistis.
3.      Menekankan peranan lingkungan.
4.      Mementingkan pembentukan reaksi atau respon.
5.      Menekankan pentingnya latihan.
Teori ini berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-respon, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slaving,2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang terpenting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan hal yang penting untuk melihat terjadi atau tidak perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positif reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila penguatan dikurangi/dihilangkan maka respon akan semakin lemah. Guru yang menganut pandangan ini berpendapat bahwa tingkah laku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah hasil belajar. Hasil belajar disebabkan oleh kemampuan internal manusia tetapi karena faktor stimulus yang menimbulkan respon. Agar hasil belajar optimal, maka stimulus harus dirancang sedemikian rupa sehingga mudah direspon siswa.
Teori-teori belajar dalam behaviorisme
a.      Teori belajar Classical Conditioning
Teori ini dilatarbelakangi oleh percobaan Ivan Pavlov (1849-1936) dengan keluarnya air liur. Air liur akan keluar apabila anjing melihat atau mencium bau makanan. Dalam percobaannya Pavlov membunyikan bel sebelum memperlihatkan makanan pada anjing. Setelah diulang berkali-kali ternyata air liur tetap keluar bila bel berbunyi meskipun makanan tidak ada. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku individu dapat dikondisikan. Artinya belajar merupakan suatu upaya untuk mongkondisikan pembentukan suatu perilaku atau respon terhadap upaya mengkondisikan pembentukan suatu perilaku atau respon terhadap sesuatu. Menurut teori ini belajar juga merupakan suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya latihan dan pengulangan.
                                   
b.      Teori belajar Operant Conditioning
Jadi suatu respon diperkuat oleh penghargaan berupa nilai yang tinggi dari kemampuannya menyelesaikan soal-soal ujian. Pemberian nilai adalah penerapan teori penguatan yang disebut juga operant conditioning tokoh utamanya adalah Skinner yang mengembangkan program pengajaran dengan berpegang pada teori penguatan tesebut. Program pembelajaran yang terkenal dari Skinner adalah “programmed instruction” dengan menggunakan media atau buku atau mesin pengajaran.
Skinner adalah seorang pakar teori belajar berdasarkan proses conditioning yang pada prinsipnya memperkuat dugaan bahwa timbulnya tingkah laku itu lantaran adanya hubungan antara stimulus dengan respon. Skinner mengadakan eksperimen dengan menggunakan kotak yang didalamnya terdapat pengungkit, penampung makanan, lampu, lantai dengan griil yang dialiri listrik (dikenal dengan nama skinner box). Skinner menggunakan tikus lapar sebagai hewan percobaannya. Berdasarkan experimen tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap respon yang diikuti dengan penguatan cenderung akan diulangi lagi. Setiap respon yang diikuti dengan penguatan akan meningkatkan kecepatan terjadinya respon.
Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku.

c.       Modelling dan Observational learning
Teori Bandura adalah teori belajar social atau kognitif social serta efikasi diri yang menunjukkan pentingnya proses mengamati dan meniru perilaku, sikap dan emosi orang lain. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi tingkah laku timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif perilaku dan pengaruh lingkungan. Faktor-faktor yang berproses dalam observasi adalah perhatian, mengingat, produksi motorik, motivasi.
Bandura mengembangkan 4 tahap melalui pengamatan atau modelling yaitu:
1.      Tahap perhatian
Individu memperhatikan model yang menarik, berhasil, atraktif dan populer
2.      Tahap retensi
Bila guru telah mendapatkan perhatian dari siswa, guru momodelkan perilaku yang akan ditiru oleh siswa dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mempraktekkan atau mengulangi model yang telah ditampilkan.
3.      Tahap reproduksi
Siswa mencoba menyesuaikan diri denagna perilaku model.
4.      Tahap motivasional
Siswa akan menirukan model karena merasakan bahwa melakukan pekerjaan yang baik akan meningkatkan kesempatan untuk memperoleh penguatan.
Konsep penting lainnya dari teori belajar ini adalah pengaturan diri (self-regulation). Dalam kegiatan belajar ini, individu mengamati perilakunya sendiri, menilai perilakunya sendiri dan memperkuat atau menghukum diri sendiri apabila berhasil ataupun gagal dalam berperilaku.
d.      Teori Koneksionisme
Koneksionisme merupakan teori yang paling awal dari rumpun behaviorisme. Menurut teori ini tingkah laku manusia  tidak lain dari suatu hubungan antara perangsang-jawaban atau stimulus-respons sebanyak-banyaknya.
Tokoh yang sangat terkenal mengembangkan teori ini adalah Thorndike (1874-1949), dengan eksperimennya belajar pada binatang yang juga berlaku bagi manusia yang disebut Thondike dengan “trial and error”. Thorndike menghasilkan teori belajar “connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons. Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau hukum dalam belaja yaitu ;
1.        Law of readines ( kesiaapan ) ada tiga tahap yaitu :
Ø  Apabila individu memiliki kesiapan untuk bertindak atau berperilaku dan dapat melaksanakannya, maka dia akan puas
Ø  Apabila individu tidak memiliki kesiapan untuk bertindak atau berperilaku tapi tidak dapat melaksanakannya, maka dia akan kecewa
Ø  Apabila individu tidak memiliki kesiapan untuk bertindak atau berperilaku dan dipaksa untuk melaksanakannya, maka akan menimbulkan keadaan yang tidak memuaskan.
2.    Law of exercise, belajar akan berhasil apabila banyak latihan dan ulangan.
3.    Law of effect, belajar akan bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik.

e.       Teori Modifikasi Perilaku Kognitif
Meichenbaum menyatakan bahwa individu dapat diajarkan untuk memantau dan mengatur perilakunya sendiri. Cara yang digunakan yaitu melatih individu yang terganggu emosionalnya untuk membuat dan menjawab pertanyaannya sendiri. Ada 5 tahap kegiatan belajar mandiri yang dikembangkan Meichenbaum, yaitu:
a.       Model orang dewasa melakukan tugas tertentu sambil berbicara dengan keras (Modeling kognitif).
b.      Anak melakukan tugas yang sama dibawah arahan pembelajaran dari model (bimbingan eksternal).
c.       Anak melakukan tugas sambil membelajarkan diri sendiri.
d.      Anak membelajarkan dirinya dengan cara berbicara pelan pada saat melanjutkan tugas.
e.       Anak melakukan tugas untuk mencari kinerja tertentu dengan melakukan percakapan diri sendiri.
Teori belajar modifikasi perilaku koginitif ini menekankan pada modeling percakapan diri sendiri secara meningkat berpindah dari perilaku yang dikendalikan oleh orang lain kepada perilaku yang dikendalikan oleh diri sendiri, di mana individu menggunakan percakapan diri sendiri pada waktu melaksanakan tugas.
f.       Teori belajar Conditioning
     Guthrie menyatakan bahwa semua belajar dapat diterangkan dengan satu prinsip, yaitu prinsip asosiasi. Belajar merupakan suatu upaya untuk menentukan hukum-hukum, bagaimana stimulus dan respon itu berasosiasi. Guthrie menyatakan bahwa respon dapat menimbulkan stimulus untuk respon berikutnya. Perilaku manusia merupakan deretan perilaku yang terdiri atas unit-unit reaksi atau respon dari stimulus berikutnya. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap.
     Konsekuensi yang menyenangkan pada umumnya disebut sebagai penguat (reinforces), dan yang tidak menyenangkan disebut sebagai hukuman (punishers). Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dalam teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Siswa harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak.
g.      Teori belajar menurut Harley dan Davis
     Prinsip-prinsip belajar menurut teori behaviorisme yang dikemukakan oleh Harley dan Davis adalah :
1.      Proses belajar dapat terjadi dengan baik apabila siswa ikut telibat secara aktif didalamnya.
2.      Materi pelajaran diberikan dalam bentuk unit-unit kecil dan diatur sedemikian rupa sehingga hanya perlu memberikan suatu respons tertentu saja.
3.      Tiap-tiap respons perlu diberi umpan balik secara langsung sehingga siswa dapat dengan segera mengetahui apakah respons yang diberikan betul atau tidak.
4.      Perlu diberikan penguatan setiap kali siswa memberikan respons apakah bersifat positif atau negatif.

2.      Aplikasi dalam Pembelajaran Behavioristik
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti : tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik peserta didik, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar. Dalam hal pembelajaran, peserta didik dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik.
Para ahli psikologi pendidikan sepakat bahwa pembelajaran menurut konsep behaviorisme berlangsung dengan tiga langkah pokok, yaitu :
1)      Tahap akuisisi, tahap perolehan pengetahuan. Dalam tahap ini siswa belajar tentang informasi baru;
2)      Tahap retensi, dalam tahap ini ninformasi atau keterampilan baru yang dipelajari dipraktikan sehingga siswa dapat mengingatnya selama suatu periode waktu tertentu. Tahap ini juga disebut tahap penyimpangan (storange stage), artinya hasil belajar disimpan untuk digunakan di masa depan;
3)      Tahap transfer, seringkali gagasan yang disimpan dalam memory sulit diingat kembali saat akan digunakan di masa depan. Kemampuan untuk mengingat kembali informasi dan menggunakannya dalam situasi baru (mentransfernya dalam pembelajaran yang baru) tampaknya memang memerlukan bermacam-macam strategi, tetapi kelihatannya amat bergantung kepada ingatan kita terhadap informasi yang benar.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran terutama berupa dirasakan kurangnya memberi ruang gerak yang lebih bebas kepada siswa, sehingga kurang dapat berkreasi, melakukan inovasi, bereksperimentasi, melakukan eksplorasi untuk mengembangkan potensi dan kemampuannya sendiri. Sistem pembelajaran berbasis behaviorisme amat bersifat mekanistik-otomatis dalam menghubungkan antara stimulus dengan respon, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot,. Akibat lanjutnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensinya.
Namun, harus diakui bahwa teori behaviorisme ini relatif sederhana dan mudah dipahami karena hanya berkisar sekitar perilaku yang dapat diamati dan dapat menggambarkan beberapa macam hukum perilaku. Behaviorisme sering diterapkan oleh guru yang menyukai pemberian hadiah (reward) dan hukuman (punishment) terhadap perilaku siswa. Kecuali itu, behaviorisme memang memiliki kekuatan dalam perencanaan dan penilaian pembelajaran. Salah satu pilar kekuatan behaviorisme, yaitu taksonomi bloom yang sampai saat ini masih banyak digunakan dalam perencanaan dan penilaian pembelajaran.

0 komentar:

Posting Komentar

Mario